Short
Journey in Buton Island
Perjalanan Singkat Menyusuri daerah Buton Tengah,
dan sedikit perkampungan di Pusat Kerajaan Buton Sulawesi Tenggara (Agustus
2009)
Kepulauan Buton merupakan
gugusan pulau-pulau yang didiami 3 wilayah administratif sekaligus yaitu
kabupaten Buton, kota Bau-Bau, dan kabupaten Buton Utara. Berdasarkan peta
kawasan karst Indonesia, sebagian besar wilayah kepulauan ini merupakan batuan
karst meskipun tidak disebutkan secara pasti berapa luas kawasan karst yg
dimiliki pulau ini. Salah satu ciri daerah karst adalah banyaknya gua-gua
didaerah tersebut.
Pagi
yang cerah mengawali perjalanan kami hari ini (09/08/2009)- Perjalanan dimulai
dengan menumpangi kapal fery menyebrangi selat kecil yang memisahkan kepulauan
Buton dan kepulauan Muna berjarak sekitar 2 mil dengan jarak tempuh sekitar 15
menit. Target awal hari ini adalah daerah buton bagian tengah dengan menyusuri
jalan poros daerah Wamengkoli kecamatan Lakudo sampai daerah Lombe kecamatan
Gu, berdasarkan pengamatan singkat dibeberapa samping jalan terlihat begitu
jelas adanya potensi gua yang cukup besar, tercatat lebih dari 5 gua yang
sempat kami kunjungi sebagian tidak terawat dan tidak bernama, sebagian lagi berlorong
vedose (berair).
Sebagai
pecinta gua bagiku melihat gua-gua lebih menarik dari pada sekedar mencicipi
Brownies Coklat entah kenapa??? hehehehehe??? Efek penasaran dalam jiwa
membuatku tergerak untuk sekedar menyapa kegelapan perut bumi di daerah ini,
meski tidak membawa self equipment yang lengkap. beberapa gua hanya sempat
dimasuki pada level aman, hanya sekedar melihat sepintas— gua yang paling
meninggalkan kesan adalah salah satu gua yang berada di Kelurahan Boneoge
Kecamatan Lakudo letaknya persis dibelakang pangkalan ojek, masyarakat disana
menyebutnya gua Lahomboka. Mulut gua berbau air seni kemungkinan besar biasa
dijadikan WC dadakan oleh tukang ojek- bau amis tidak
mengurungkan niatku untuk menelusuri gua ini, tidak hanya bau amis entrance
gua ini juga dipenuhi dengan tumpukan sampah—sekali lagi tumpukan sampah ini
tidak mengurungkan niatku untuk menelusuri gua ini— berbaur dengan bau amis dan
tumpukan sampah selama kurang lebih 30 menit terbayar dengan kilauan taburan
kalsit yang menaburu lantai gua sungguh mengagumkan ia lebih awal menyapaku,
ketika mulai menyalakan headlamp bagian yang tersorot pertama kali adalah
kilauan itu sungguh indah bak menampakan kecantikan yang misterius sebuah
kejutan awal dalam journey kali ini, belum lagi atap gua yang sangat
rendah membuatku tertantang untuk menelusuri setiap sudut dalam gua ini,
hanya teknik merayap yang bisa digunakan untuk menelusuri gua ini--- sungguh
menantang namum keterbatasan perlengkapan membuat saya harus puas sampai dibeberapa
meter saja.
Kus-Kus di habitat Aslinya
|
Hari
sudah menjelang sore, matahari perlahan-lahan beradu diufuk barat, target kami
selanjutnya adalah mendaki dipuncak Livu sebuah bekas perkampungan lama tak
berpenghuni di Kelurahan Lakudo- daerah dengan ketinggian sekitar 300 mdpl,
tidak banyak yang kami jumpai dalam perjalanan menuju puncak hanya
beberepa pekebun jambu mete dan seekor Kus-kus (hewan endemic pulau buton)
hahahah---- hal langka-- menjumpai Kus-kus dihabitat aslinya sungguh luar
biasa---- jarak dari pintu masuk perkampungan menuju puncak Livu kami
perkirakan 3km dan membutuhkan waktu sekitar 40 menit untuk mencapai puncak.
Saat
matahari mulai berwarna orange kecoklatan kami telah tiba dipuncak Livu-
terlihat begitu jelas saat–saat dimana bulatan itu menari dibatas cakrawala dan
bersembunyi dibalik gunung seolah merampas rasa capek kami. Harmoni alam yang
entah kapan lagi kami jumpai. sungguh tempat yang pas menikmati sunset belum
lagi perpaduan alamiah antara hamparan laut dan impitan gugusan pulau terlihat
jelas dari tempat ini sungguh pemandangan yang luar biasa.
Hari
sudah berganti gelap selepas azan magrib, kami beranjak dari puncak itu
suara-suara hewan malam menemani perjalanan kami tak terkecuali Kus-kus yang
masih tetap setia menanti kami, tidak hanya itu perjalanan kami dikejutkan oleh
permainan apik seekor ular yang dengan tegas secara jantan mempertontonkan
kelihaiannya memangsa tokek—hehehe tontonan gratis yang menegangkan--.
Sesampainya diperkampungan kami beristerahat sejenak lalu melanjutkan
perjalanan menuju Lombe guna beristirahat.
Pagi
ini (10/08/2009) suasana tropis begitu kental dimana matahari begitu terik
menambah kesan gersang daerah ini. hari ini kami berencana untuk melanjutkan
misi sebagaimana hari kemarin menyusuri jalan poros untuk
mengidentifikasi keberadaan gua-gua didaratan ini, target pada jalan
poros Lombe-Mawasangka-Wamengkoli tidak kurang dari 5 gua kami temukan hanya
saja gua-gua dalam perjalanan hari ini sebagian besar berjenis vedose (berair),
sebagian dimanfaatkan oleh warga setempat untuk mandi, cuci dan keperluan
masak. Kami juga menyempatkan untuk menyinggahi beberapa pantai didaerah
ini. Menjelang siang hari, kami putuskan untuk kembali ke Bau-Bau daerah dimana
secara administrative merupakan satu-satunya kota dalam pulau ini, berharap
disana ada sesuatu yang bisa diceritakan, kami memulainya dengan menjajaki
daerah pesisir Lovu-lovu, jarak Lovu-lovu dari pusat kota sekitar 10km,
merupakan daerah perbatasan dengan kabupaten Buton, disini kami disuguhkan
fenomena alam dimana melihat batu yang berbentuk seperti kapal. Kami
melanjutkan perjalanan menuju daerah Gonda tempat dimana diadakannya jambore
pramuka tingkat nasional tahun 2009 disini kami disuguhkan pemandangan hutan
jati dan pinus yang berjejer rapi dikawasan perkemahan tersebut dan penutupan
yang manis dalam journey ini adalah mengunjungi kawasan benteng keraton,
benteng yang menurut MURI (2006) merupakan benteng terluas didunia, benteng
yang berada diketinggian sangat pas menikmati sunset disini , sisa-sisa
kemegahan kesultanan Buton masih sangat kental, rasanya seolah merasakan
kejayaan masa-masa kesultanan Buton.
TANYALAH
kepada warga setempat di mana tempat wisata di daerah ini, maka akan terdengar
cerita banyaknya tempat pemandian yang alami dan sangat indah. Beberapa kali
saya tanyakan hal ini kepada warga, jawaban yang saya dengar adalah tempat
pemandian yang eksotis dan bertebaran di sepanjang Buton Utara. Berbagai
pemandian dengan beragam karakteristik diceritakan warga yang saya tanyai.
Akhirnya saya berkesimpulan bahwa warga lokal punya konsepsi bahwa wisata
identik dengan tempat pemandian. Dan Kulisusu adalah negeri dengan seribu
tempat pemandian.
Tentang
banyaknya tempat mandi ini menimbulkan keanehan di benakku. Bagiku, daerah ini
sangat kecil, namun kenapa penduduknya justru sangat menyenangi wisata ke
pemandian? Pertanyaan itu akan saya jawab nanti, seiring dengan kian serunya
penjelajahanku di daerah ini.
Hari ketiga di Kulisusu, saya habiskan dengan mengitari
beberapa tempat wisata tersebut. Setelah singgah di Masjid Agung Keraton
Kulisusu, saya langsung jalan-jalan ke desa bernama Bone yang artinya pasir.
Sebelum mencapai Bone, saya melewati sejumlah desa seperti Lipu, Linsowu, dan
Rombo. Desa Bone dijangkau melalui perjalanan selama setengah jam dari
Kulisusu. Desa ini berhadapan dengan laut dan sangat indah. Lanskap berupa
pasir putih dan rumah-rumah warga terlihat rapat dan menarik disaksikan.
Jalanannya tidak diaspal, namun sangat mulus ketika dijalani.
Bersama
seorang kawan bernama Duude, saya melintas di desa ini dalam perjalanan menuju
tempat pemandian yaitu E’e yi Ngkapala. Secara harfiah nama ini berarti
Air yang di Dalam Kapal. Saya menyaksikan tempat ini dan berdecak kagum.
Pemandian ini berupa telaga yang terletak di tengah karang. Bentuknya seperti
kapal batu dan di dalamnya ada tempat pemandian. Airnya sangat jernih dan kita
seakan bisa bercermin di situ. Air itu terletak di tengah gugusan batu,
sehingga ketika berenang dan tidak hati-hati bisa menabrak batu karang. Kolam
ini tidak begitu lebar, namun sangat nyaman. Dikelilingi batu besar dan pohon
rindang, membuat kolam ini sangat menarik untuk dijadikan tempat wisata. Ada
dua telaga besar yang berdekatan di pemandian ini, namun hanya satu yang
menjadi tempat pemandian. Telaga yang dijadikan pemandian itu sangatlah indah.
Saya sempat berfoto di situ. (tampan yaaa…?)
Menurut warga setempat, telaga yang
satu lagi tidak aman karena ada buayanya. Setelah saya perhatikan, telaga yang
satu tidak layak dijadikan pemndian karena airnya tidak begitu jernih. Batu
karang menutup rapat pergerakan air sehingga tidak mengalir. Saya tidak begitu
yakin ada buaya di telaga yang satu situ. Namun telaga itu posisinya tidak
begitu aman dijadikan tempat mandi karena batu-batu curam mengelilinginya. Saya
menduga, cerita buaya itu disebarkan penduduk agar anak kecil tidak mengambil
resiko mandi di tempat yang tidak begitu aman tersebut.
Puas menyaksikan E’e yi Ngkapala, syaa pindah ke
tempat pemandian yang terletak tidak jauh dari situ. Namanya E’e yi Nunu.
Secara harfiah berarti Air yang di Dalam Beringin. Di beri nama demikian, sebab
di sekitar air tersebut, terdapat pohon beringin yang sangat besar sehingga
suasananya sangat teduh. Ada tangga kayu untuk turun mencebur ke kolam
tersebut. Jika tidak hati-hati turun di situ, maka bisa tercebur di kolam yang
dingin. Dengan penuh kehati-hatian, saya turun di tangga tersebut, kemudian
berfoto. Pemandangan di sini harus saya abadikan supaya kelak menjadi catatan
tersendiri bahwa saya pernah singgah ke tempat ini.
Setelah menyaksikan E’e yi Nunu, saya lalu pulang
bersama temanku Duude. Kami berjalan memutar dan melewati kampung bernama Kampo
Entaa. Secara harfiah bermakna Kampung Tinggi karena letaknya yang agak
tinggi dari permukaan laut. Kehidupan penduduknya sangat miskin. Rata-rata
rumahnya berbentuk panggung dan sangatlah sederhana. Pada beberapa rumah yang
terbuka, saya bisa melihat bahwa tak ada satupun perabotan di situ, kecuali
kasur yang sudah lapuk serta gambar kumal artis sinetron. Menurut temaku Duude,
warga Kampo Entaa dikenal masih percaya praktik perdukunan. Ada banyak
cerita mistik yang sering dituturkan di daerah ini. Katanya, baru-baru ini
kampung ini heboh karena ada warganya yang menikah dengan jin. Dalam bahsa
setempat, jin itu disebut Ata Molai (budak yang lari). Saya menduga, ata
molai itu semacam orang bunian atau bangsa yang menghilangkan
dirinya karena tidak mampu membayar pajak kepada Belanda. Bapakku punya banyak
cerita tentang mereka sebab punya pengalaman tinggal di dekat hutan waktu kerja
di pabrik aspal di Pasarwajo, Buton. Menurut cerita bapakku, jumlah orang bunian
cukup banyak dan memilih jadi jin atau siluman karena tak mau bayar pajak
kepada Belanda. Namun, di hari-hari tertentu, mereka akan datang ke Pasar
Bau-Bau untuk membeli garam. “Biasanya, mereka memakai baju merah dan hanya mau
beli garam,” cerita bapakku.
Sepulang dari E’e yi Nunu, saya hendak singgah ke E’e
yingkineke. Secara harfiah E’e
Yingkineke bermakna tempat yang digali. Menurut warga, pemandian ini
terletak di dalam gua yang cukup besar dan gelap. Di dalam gua itu, terdapat
tangga-tangga sehingga jika hendak ke telaga harus hati-hati agar tidak jatuh.
Warga yang hendak mengambil air di situ, harus membawa obor agar bisa menerangi
jalannya. Sayangnya, saat singgah ke situ saya tidak berani masuk ke dalam gua.
Menurut warga, gua tersebut agak licin di musim hujan. Saya sih sebenarnya
berani saj masuk ke situ. Namun, temanku Duude agak khawatir karena tempat itu
banyak makan korban. Jangan sampai, kami jadi korban berikutnya. Hiii……..
Masih banyak tempat pemandian lainnya. Mulai dari membuku,
moloku, dan satu tempat misterius yaitu Lantagi. Semuanya
menantang untuk dijelajahi. Cukup sampai di sini saja yaaa….(*)
No comments:
Post a Comment