Wednesday, September 14, 2011

Buton Utara


Short Journey in Buton Island

Perjalanan Singkat Menyusuri daerah Buton Tengah, dan sedikit perkampungan di Pusat Kerajaan Buton Sulawesi Tenggara (Agustus 2009)

Kepulauan Buton  merupakan gugusan pulau-pulau yang didiami 3 wilayah administratif sekaligus yaitu kabupaten Buton, kota Bau-Bau, dan kabupaten Buton Utara. Berdasarkan peta kawasan karst Indonesia, sebagian besar wilayah kepulauan ini merupakan batuan karst meskipun tidak disebutkan secara pasti berapa luas kawasan karst yg dimiliki pulau ini. Salah satu ciri daerah karst adalah banyaknya gua-gua didaerah tersebut.
Pagi yang cerah mengawali perjalanan kami hari ini (09/08/2009)- Perjalanan dimulai dengan menumpangi kapal fery menyebrangi selat kecil yang memisahkan kepulauan Buton dan kepulauan Muna berjarak sekitar 2 mil dengan jarak tempuh sekitar 15 menit. Target awal hari ini adalah daerah buton bagian tengah dengan menyusuri jalan poros daerah Wamengkoli kecamatan Lakudo sampai daerah Lombe kecamatan Gu, berdasarkan pengamatan singkat dibeberapa samping jalan terlihat begitu jelas adanya potensi gua yang cukup besar, tercatat lebih dari 5 gua yang sempat kami kunjungi sebagian tidak terawat dan tidak bernama, sebagian lagi berlorong vedose (berair).




Sebagai pecinta gua bagiku melihat gua-gua lebih menarik dari pada sekedar mencicipi Brownies Coklat entah kenapa??? hehehehehe??? Efek penasaran dalam jiwa membuatku tergerak untuk sekedar menyapa kegelapan perut bumi di daerah ini, meski tidak membawa self equipment yang lengkap. beberapa gua hanya sempat dimasuki  pada level aman, hanya sekedar melihat sepintas— gua yang paling meninggalkan kesan adalah salah satu gua yang berada di Kelurahan Boneoge Kecamatan Lakudo letaknya persis dibelakang pangkalan ojek, masyarakat disana menyebutnya gua Lahomboka. Mulut gua berbau air seni kemungkinan besar biasa dijadikan WC dadakan oleh tukang ojek- bau amis tidak mengurungkan niatku untuk menelusuri gua ini, tidak hanya bau amis entrance gua ini juga dipenuhi dengan tumpukan sampah—sekali lagi tumpukan sampah ini tidak mengurungkan niatku untuk menelusuri gua ini— berbaur dengan bau amis dan tumpukan sampah selama kurang lebih 30 menit terbayar dengan kilauan taburan kalsit yang menaburu lantai gua sungguh mengagumkan ia lebih awal menyapaku, ketika mulai menyalakan headlamp bagian yang tersorot pertama kali adalah kilauan itu sungguh indah bak menampakan kecantikan yang misterius sebuah kejutan awal dalam journey kali ini, belum lagi atap gua yang sangat rendah  membuatku tertantang untuk menelusuri setiap sudut dalam gua ini, hanya teknik merayap yang bisa digunakan untuk menelusuri gua ini--- sungguh menantang namum keterbatasan perlengkapan membuat saya harus puas sampai dibeberapa meter saja.
Kus-Kus di habitat Aslinya

Hari sudah menjelang sore, matahari perlahan-lahan beradu diufuk barat, target kami selanjutnya adalah mendaki dipuncak Livu sebuah bekas perkampungan lama tak berpenghuni di Kelurahan Lakudo- daerah dengan ketinggian sekitar 300 mdpl,  tidak banyak yang kami jumpai dalam perjalanan menuju puncak hanya beberepa pekebun jambu mete dan seekor Kus-kus (hewan endemic pulau buton) hahahah---- hal langka-- menjumpai Kus-kus dihabitat aslinya sungguh luar biasa---- jarak dari pintu masuk perkampungan menuju puncak Livu kami perkirakan 3km dan membutuhkan waktu sekitar 40 menit untuk mencapai puncak.
Saat matahari mulai berwarna orange kecoklatan kami telah tiba dipuncak Livu- terlihat begitu jelas saat–saat dimana bulatan itu menari dibatas cakrawala dan bersembunyi dibalik gunung seolah merampas rasa capek kami. Harmoni alam yang entah kapan lagi kami jumpai. sungguh tempat yang pas menikmati sunset belum lagi perpaduan alamiah antara hamparan laut dan impitan gugusan pulau terlihat jelas dari tempat ini sungguh pemandangan yang luar biasa.
Hari sudah berganti gelap selepas azan magrib, kami beranjak dari puncak itu suara-suara hewan malam menemani perjalanan kami tak terkecuali Kus-kus yang masih tetap setia menanti kami, tidak hanya itu perjalanan kami dikejutkan oleh permainan apik seekor ular yang dengan tegas secara jantan mempertontonkan kelihaiannya memangsa tokek—hehehe  tontonan gratis yang menegangkan--. Sesampainya diperkampungan kami beristerahat sejenak lalu melanjutkan perjalanan menuju Lombe guna beristirahat.
Pagi ini (10/08/2009) suasana tropis begitu kental dimana matahari begitu terik menambah kesan gersang daerah ini. hari ini kami berencana untuk melanjutkan misi sebagaimana hari kemarin menyusuri jalan poros untuk  mengidentifikasi keberadaan gua-gua didaratan ini, target pada jalan poros Lombe-Mawasangka-Wamengkoli tidak kurang dari 5 gua kami temukan hanya saja gua-gua dalam perjalanan hari ini sebagian besar berjenis vedose (berair), sebagian dimanfaatkan oleh warga setempat untuk mandi, cuci dan keperluan masak.  Kami juga menyempatkan untuk menyinggahi beberapa pantai didaerah ini. Menjelang siang hari, kami putuskan untuk kembali ke Bau-Bau daerah dimana secara administrative merupakan satu-satunya kota dalam pulau ini, berharap disana ada sesuatu yang bisa diceritakan, kami memulainya dengan menjajaki daerah pesisir Lovu-lovu, jarak Lovu-lovu dari pusat kota sekitar 10km, merupakan daerah perbatasan dengan kabupaten Buton, disini kami disuguhkan fenomena alam dimana  melihat batu yang berbentuk seperti kapal. Kami melanjutkan perjalanan menuju daerah Gonda tempat dimana diadakannya jambore pramuka tingkat nasional tahun 2009 disini kami disuguhkan pemandangan hutan jati dan pinus yang berjejer rapi dikawasan perkemahan tersebut dan penutupan yang manis dalam journey ini adalah mengunjungi kawasan benteng keraton, benteng yang menurut MURI (2006) merupakan benteng terluas didunia, benteng yang berada diketinggian sangat pas menikmati sunset disini , sisa-sisa kemegahan kesultanan Buton masih sangat kental, rasanya seolah merasakan kejayaan masa-masa kesultanan Buton.



TANYALAH kepada warga setempat di mana tempat wisata di daerah ini, maka akan terdengar cerita banyaknya tempat pemandian yang alami dan sangat indah. Beberapa kali saya tanyakan hal ini kepada warga, jawaban yang saya dengar adalah tempat pemandian yang eksotis dan bertebaran di sepanjang Buton Utara. Berbagai pemandian dengan beragam karakteristik diceritakan warga yang saya tanyai. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa warga lokal punya konsepsi bahwa wisata identik dengan tempat pemandian. Dan Kulisusu adalah negeri dengan seribu tempat pemandian.
Tentang banyaknya tempat mandi ini menimbulkan keanehan di benakku. Bagiku, daerah ini sangat kecil, namun kenapa penduduknya justru sangat menyenangi wisata ke pemandian? Pertanyaan itu akan saya jawab nanti, seiring dengan kian serunya penjelajahanku di daerah ini.
Hari ketiga di Kulisusu, saya habiskan dengan mengitari beberapa tempat wisata tersebut. Setelah singgah di Masjid Agung Keraton Kulisusu, saya langsung jalan-jalan ke desa bernama Bone yang artinya pasir. Sebelum mencapai Bone, saya melewati sejumlah desa seperti Lipu, Linsowu, dan Rombo. Desa Bone dijangkau melalui perjalanan selama setengah jam dari Kulisusu. Desa ini berhadapan dengan laut dan sangat indah. Lanskap berupa pasir putih dan rumah-rumah warga terlihat rapat dan menarik disaksikan. Jalanannya tidak diaspal, namun sangat mulus ketika dijalani.
Bersama seorang kawan bernama Duude, saya melintas di desa ini dalam perjalanan menuju tempat pemandian yaitu E’e yi Ngkapala. Secara harfiah nama ini berarti Air yang di Dalam Kapal. Saya menyaksikan tempat ini dan berdecak kagum. Pemandian ini berupa telaga yang terletak di tengah karang. Bentuknya seperti kapal batu dan di dalamnya ada tempat pemandian. Airnya sangat jernih dan kita seakan bisa bercermin di situ. Air itu terletak di tengah gugusan batu, sehingga ketika berenang dan tidak hati-hati bisa menabrak batu karang. Kolam ini tidak begitu lebar, namun sangat nyaman. Dikelilingi batu besar dan pohon rindang, membuat kolam ini sangat menarik untuk dijadikan tempat wisata. Ada dua telaga besar yang berdekatan di pemandian ini, namun hanya satu yang menjadi tempat pemandian. Telaga yang dijadikan pemandian itu sangatlah indah. Saya sempat berfoto di situ. (tampan yaaa…?)
Menurut warga setempat, telaga yang satu lagi tidak aman karena ada buayanya. Setelah saya perhatikan, telaga yang satu tidak layak dijadikan pemndian karena airnya tidak begitu jernih. Batu karang menutup rapat pergerakan air sehingga tidak mengalir. Saya tidak begitu yakin ada buaya di telaga yang satu situ. Namun telaga itu posisinya tidak begitu aman dijadikan tempat mandi karena batu-batu curam mengelilinginya. Saya menduga, cerita buaya itu disebarkan penduduk agar anak kecil tidak mengambil resiko mandi di tempat yang tidak begitu aman tersebut.
Puas menyaksikan E’e yi Ngkapala, syaa pindah ke tempat pemandian yang terletak tidak jauh dari situ. Namanya E’e yi Nunu. Secara harfiah berarti Air yang di Dalam Beringin. Di beri nama demikian, sebab di sekitar air tersebut, terdapat pohon beringin yang sangat besar sehingga suasananya sangat teduh. Ada tangga kayu untuk turun mencebur ke kolam tersebut. Jika tidak hati-hati turun di situ, maka bisa tercebur di kolam yang dingin. Dengan penuh kehati-hatian, saya turun di tangga tersebut, kemudian berfoto. Pemandangan di sini harus saya abadikan supaya kelak menjadi catatan tersendiri bahwa saya pernah singgah ke tempat ini.
Setelah menyaksikan E’e yi Nunu, saya lalu pulang bersama temanku Duude. Kami berjalan memutar dan melewati kampung bernama Kampo Entaa. Secara harfiah bermakna Kampung Tinggi karena letaknya yang agak tinggi dari permukaan laut. Kehidupan penduduknya sangat miskin. Rata-rata rumahnya berbentuk panggung dan sangatlah sederhana. Pada beberapa rumah yang terbuka, saya bisa melihat bahwa tak ada satupun perabotan di situ, kecuali kasur yang sudah lapuk serta gambar kumal artis sinetron. Menurut temaku Duude, warga Kampo Entaa dikenal masih percaya praktik perdukunan. Ada banyak cerita mistik yang sering dituturkan di daerah ini. Katanya, baru-baru ini kampung ini heboh karena ada warganya yang menikah dengan jin. Dalam bahsa setempat, jin itu disebut Ata Molai (budak yang lari). Saya menduga, ata molai itu semacam orang bunian atau bangsa yang menghilangkan dirinya karena tidak mampu membayar pajak kepada Belanda. Bapakku punya banyak cerita tentang mereka sebab punya pengalaman tinggal di dekat hutan waktu kerja di pabrik aspal di Pasarwajo, Buton. Menurut cerita bapakku, jumlah orang bunian cukup banyak dan memilih jadi jin atau siluman karena tak mau bayar pajak kepada Belanda. Namun, di hari-hari tertentu, mereka akan datang ke Pasar Bau-Bau untuk membeli garam. “Biasanya, mereka memakai baju merah dan hanya mau beli garam,” cerita bapakku.
Sepulang dari E’e yi Nunu, saya hendak singgah ke E’e yingkineke. Secara harfiah E’e Yingkineke bermakna tempat yang digali. Menurut warga, pemandian ini terletak di dalam gua yang cukup besar dan gelap. Di dalam gua itu, terdapat tangga-tangga sehingga jika hendak ke telaga harus hati-hati agar tidak jatuh. Warga yang hendak mengambil air di situ, harus membawa obor agar bisa menerangi jalannya. Sayangnya, saat singgah ke situ saya tidak berani masuk ke dalam gua. Menurut warga, gua tersebut agak licin di musim hujan. Saya sih sebenarnya berani saj masuk ke situ. Namun, temanku Duude agak khawatir karena tempat itu banyak makan korban. Jangan sampai, kami jadi korban berikutnya. Hiii……..
Masih banyak tempat pemandian lainnya. Mulai dari membuku, moloku, dan satu tempat misterius yaitu Lantagi. Semuanya menantang untuk dijelajahi. Cukup sampai di sini saja yaaa….(*)

No comments:

Post a Comment